Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) adalah organisasi pemantau pemilu pertama dan terbesar di Indonesia, yang berdiri sejak 15 Maret 1996, di masa pemerintahan otoriter militeristik dibawah kepemimpinan Jendral Suharto. Pemerintah saat itu menyatakan bahwa KIPP adalah organisasi ilegal, dengan sebutan OTB (organisasi Tanpa bentuk). KIPP dengan Sekretaris Jendral pertamanya Mulyana W Kusuma mendapat tekanan dari pemerintah Orba saat itu.
Pemilu pertama yang dipantau KIPP adalah Pemilu legislatif tahun 1997. KIPP melakukan gerakan bawah tanah untuk memantau Pemilu saat itu, karena pemerintah tak mengijinkan organisasi ini memantau, bahkan keberadaanya dianggap mengancam kekuasaan pemerintahan Orba yang sudah berdiri lebih dari 3 dekade pasca peristiwa G 30 S dan Gerakan 1 Oktober 1965.
Pasca keruntuhan pemerintahan Orba, pada pemilu demokratis pertama pasca reformasi 1998, KIPP b erdiri di semua Propinsi dan hampir di seluruh Kabupaten di seleuruh Indonesia memantau pemilu multi partai pertama sejak pemilu 1955. Dengan dukungan masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional, KIPP mampu memantau hampir di setiap TPS dalam pemilu terebut.
KIPP tetap memantau pemilu-pemilu selanjutnya, yakni tahun 2004, 2009 dan tahun 2014. Sementara itu benyak kader dan relawan KIPP yang kemudian menjadi komisioner penyelenggara pemilu, baik di KPU, Bawaslu dan DKPP di berbagai tingkatan di seluruh Indonesia. Juga sebagian di antaranya berkiprah di partai politik dan banyak juga yang membentuk atau bergabung dengan organisasi pemantau pemilu atau organisasi sosial lainnya.
KIPP Indonesia Saat Ini
Perkembangan Demokkrasi di Indonesia sam[pai saaatini dianggap sebagai negra yng paling maju dalam bberdemokrasi, setidaknya di Asia Tenggara, sebagaimana yang disampaikan oleh tokoh demokrasi Asia Damaso Maqbual, dalam beberapa forum yang membahas soal demokrasi di kancah Internasional, ia mneybutkan bahwa Indonesia telah berlari jauh di depan negar-nagara lain di Asia Tenggra. sebuah puian yang tak seharusnya menjadikan kita terlena, tetapi setidaknya membuat kita paham bahw kita sedaang menapaki jalan yang benar, lalau prtanyaanya adalah apakh kita masih akan terus bisa memimpin dalam hal demokrasi di Asia tenrgaara, bahkan Asia dan dunia pada umumnya, apa saja pekerjaan rumah yang masih kita hadapi dan bagaimana kita mengatasinya?
Pertanyaan tadi tentu dapat kita rinci lebih jauh, misalnya dengan melihat kondisi demokrasi kita sebagai bangsa, khusunya dalam kehidupan demokrasi dan pelaksanaan pemilu. Disini kita mendapati diri kita sebagai bangsa masih digelayuti dengan bberba permasalahan dalam pemilu, serperti soal politik uang, belum terlembaganya demokrasi dalam kehidupan kita sehsri-haari sebagai bangsa, yang di dalamnya mensyaratakan penegakan hukum menjadi keseharan, sehingga semua pihak menjungjugn tinggi dan melaksanakan hukum dengan kesadaran penuh sebagai sebuah keluarga bangsa.
Dalam kondisi demikian, KIPP Indonesia tetap hadir sebagai pemantai pemilu dengan penuh kesadaran dengan semua perkembangan yang tentu saja berbeda dengan saat awal lembaga pemantau pertama di Indonesia ini berdiri. Perubahan tantangan tadi harus membuat pemantaun yang dilakukan oleh KIPP Indonesai atau lembaga pemantau manapun di Indonesia untuk menyesuaikan pola pemantaun pemilu sebagaimana perubahan kondisi yang dihadapi, khususnya terkait dengan dinamika politik, demokrasi dan khususnya terkait kepemiluan.
Salah satu perubahan mendasar adalah bahwa saat ini tidak mungkin lagi melakukan pemantaaun secaar masif sebagaimana yang dilakuaknmpada pemilu 1999, bahkan sejak pemilu tahun 2004, jumlah TPS yang bisa dipantau terus menuruntajam. Saat ini KIPP Indonesia berpandangan bahwa pemantauan pemilu 2019 dan seterusnya, sebagaiman juga ppalaaksana pilkada srentak tahun 2015. 2107 dan 2018 dilakukan dengan metode pemantauan kualitatif, Pemanatauna kualitatif adalah pementauan pemilu dengan jumalh pemantau yang yang efektif, dasar pemantauannya bukan per TPS, tetapi per wilayah, seprti perprovnsi, per kabupaten atau kota, per kecamatan, desa dan seterusnya, sesuai denngan kemampuan dan kondisi dera atau kemampuan pemantauan itu sendiri.
Untuk itu analisa dan kajian menjadi kekuatan dalm sistem pemantauan kualitatif etrsebut. konsolidasi, perencanaan, prosedur dan pelatihan merupakan langkah awal yang harus dilakukan sebelum melakukan pemantauan ke lapangaan, selanjutnya konsolidasi, pelapran dan evaluasi menjadi langkah penting selanjutnya. Nuansa nasional dan lokal menjadi kekuatan pemantaun yang beerbasis partisipasi warge, tanpa melupakan prinsip-prinsiap universal dalm pemilu dan demokrasi yang sudah banyak dirumuskan baik di level regional, maupun global