Catatan Pertama dari Empat Tulisan

Potong Tumper peresmian kantor KIPP Jatim
Perjalanan singkat ke Jawa Timur, khususnya kota Surabaya menjadi catatan yang menarik untuk dituliskan, bukan hanya karena hal ini dilakukan pada saat Jatim sebagai provinsi sedang melaksanakan tahapan pilkada, namun juga karena dinamika Pilkada jatim perlu mendapatkan perhatian, serta bagaimana publik mengapresiasi pelaksanaan Pilkada ini. Satu lagi yang perlu kita perhatikan adalah soal adanya salah satu kabupetan di Jatim yang melaksanakan pilkada dengan hanya satu pasangan calon yang akan bertanding, yakni Kabupaten Pasuruan.
Dengan latar belakang tadi, maka melihat langsung apa yang terjadi di Jatim dan Pasuruan menjadi sangat penting. Perjalanan singkat itu dituangkan dalam empat pembahasan yang terdiri dari pembahasan tentang diskusi yang diselenggarakan KIPP jatim, dengan tema kampanye untuk pendidikan politik, bukan sebagai ajang kecurangan, yang menghadirkan ketua KPU, akademisi dan pelaku pilkada pada periode sebelumnya. Pembahasan kedua tentang geliat KIPP dan relawan KIPP di jatim. Pembahasan selanjutnya soal pilkada dengan calon tunggal di Kabupaten Pasuruan. Dan terakhir soal nuansa perjalanan di Jatim sendiri yang tidak berhubungan langsung dengan pemantauan maupul pilkada di Jatim.
Membuka “aib Timses” dalam diskusi.
Ketika berdiskusi dengan mantan pelaku dalam pilkada, seperti dengan mantan ketua timses pasangan calon dalam sebuah pilkada, ini merupakan disksui yang perlu dimaknai sebagai bahan evaluasi bersama, tentang bagaimana kondisi, sikap dan perilaku politik orang yang terlibat langsung dalam pilkada. Rumor yang berkembang tentang politik uang, fenomena bandar, bahkan perjudian politik diungkapkan dengan apa adanya, semua manjadi bagian dari semangat untuk menjadi diskusi publik menjadi bermakna, secara umum bisa kita katakan bahwa apa yang disampaikan para narasumber mengkonfirmasi rumor yang selama ini berkembang. Misalnya soal bagaimana Parpol “memerintahkan” calon kepala daerah yang diusungnya untuk kalah.
Diskusi berkembang menyisir bagian-bagian gelap yang selama ini dianggap misteri. Dimulai dari awal pengusungan pasangan calon oleh Parpol, sebelum mendaftaran dan dinyatakan sebagai pasangan calon dalam pilkada oleh KPU, proses negosiasi tentang kemenangan seperti apa yang akan dikondisikan, sampai pada tingkat kecamatan mana yang akan dimenangkan pasangan calon tertentu, dan kecamatan mana saja yang akan dimenangkan olah pasangan calon lainnya, namun dengan perhitungan bahwa pada ujungnya dalam rekapitulasi, pasangan calon tertentu yang akan menang, semacam “pengaturan sklor” dalam senuah pertandingan. Urusan bagaimana cara untuk mengatur hal tersebut, memang tidak diungkap dalam diskusi itu, namun setidaknya kita bisa meyakini bahwa hal itu benar ada.
Mantan ketua tim suskes membawa kita pada relung-relung gelap di balik hingar bingarnya pilkada, bagaimana semua perencanaan tentang perolehan suara itu disepakati oleh para pihak, khsusunya calon kepala daerah dengan pihak lain, semisal bandar judi, juga soal klaim dan pemanfaatan posisi para pemuka agama menjadi bagian dari pengelompokan untuk sebuah pemenangan kandidat. Memang tidak diceritakan secara detail, bagaimana mengatuk kemanangan atau kekalahan seorang kandidat, sampai pada tingkat kecamatan, bahkan untuk setiap TPS, dan ini kantanya dilakukan dengan tercatat di notariat.
Menjadi tantangan untuk pemantau.
Cerita di atas, bukan sebuah cerita dari negeri dongeng, tetapi pengalaman real dari seorang pelaku pada tingkat yang paling berperan, seorang ketua Tim sukses pasangan calon kandidat peserta pilkada di tingkat provinsi, sehingga ini bukan sekadar rumor yang bersliweran terkait sisi buruk pelaksanaan pilkada langsung, seperti politik uang, penyalahgunaan wewenang, ketidak netralan ASN dan sejenisnya. Cerita ini merupakan hal nyata, bukan sekadar soal membagikan uang, sembako atau bentuk pemberian apapun yang akan mengubah pilihan pemilih dan bisa mengubah hasil sebuah pilkada. Namun memang inilah tantangannya, bukan hal yang mustahil praktek buruk demikian amsih berlangsung dalam pilkada serentai ini.
Tantangan untuk pemantau sebagai kelompok penekan yang terlembaga, seperti yang dilakukan oleh KIPP . Kehadiran pemantau pemilu atau pilkada yang bersama media akan menentukan sejauh mana kualitas perhelatan demokrasi itu berjalan. Sebuah pilkada akan disebut demokrasi jika memenuhi berbagai criteria, seperti system pemilu yang member keadilan kepada seluruh pemangku kepentingan, terjaminnya hak setiap warga Negara untuk mendapatkan informasi dan menentukan pilihannya dengan bebas, adanya jaminan keamanan untuk warga dan pelaksanaan pilkada, tidak ada ancaman atau tindak kekerasan terkait pelaksanaan pilkada serta beberap porasarat lainnya, termasuk kebebasan berpendapat dan hadirnya kemerdekaan media yang berimbang.
Jika memang apa yang dikatan oleh narsum bahwa ada seting dari pihak-pihak tertemtu yang melibatkan kandidat untuk memenangkan atau mengalahkan pasangan calon dalam pilkada, yang menegasikan pilihan rakyats sebenarnya, nampaknya ini bukan hanya soal pelanggaran, tapi pembajakan pilkada, karena hak rakyat dikangkangi oleh kesepakatan dan kolusi yang melibatkan kandidat yang jika terpilih akan memeiliki kekuasaan dan kewenangan tantang arah kebijakan sebuah daerah selama lima tahun ke depan. Kita jadi diajak berpikir bagaimana kualitas kepemimpinan dan kebijakan yang akan diambil dari pasangan calon yang memenangkan sebuah pilkada dengan kecurangan yang menyandera kedaulatan rakyatnya.
Demikian tulisan ini menjadi oleh-oleh dari kota terbesar kedua di Idnonesia ini, ada geliat politik dalam pilkada tahun 2018 ini, dengan Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang melaksanakan pilkada saat ini. Gambaran dari diskusi memberikan tantangan bagi semua semua pemangku kepentingan, sebuah kondisi dan tantangan yang tidak bias dianggap main-main. Namun masih ada tiga catatan lainnya seperti yang disampaikan di muaka yang akan ditulis sebagai catatan berikutnya.
Surabaya, 8 April 2018
Be the first to comment on "Catatan Kungjungan ke Jawa Timur"