Anomali Demokrasi dalam Pilkada di Medan

Spread the love

Potret Marjinalisasi Masyarakat Sipil dalam Pemilu

Oleh : Kaka Suminta

Kota medan merupakan daerah dengan partisipasi pemilih terendah dalam pelaksanaan pemungutan suara Pilkada serentak, 9 desember lalu, dengan angka partisipasi pemilih 523.500 dari DPT terdaftar 1.947.333 pemilih atau hanya 26,88 persen dari data yang masuk ke tabulasi C1 scaner di situs pilkada serentak KPU.

Rendahnya angka pemilih yang signifikan menjadi menarik perhatian di tengah menurunnya angka partisipasi di hampir seluruh daerah yang melaksanakan pilkada serentak di sekuruh Indonesia yang berkisar hanya pada angka 60 persen, atau jauh dari target KPU sendiri yang mematok angka 77 persen.

Jika ditarik lebih jauh, maka dapat kita simpulkan pemenang pilkada di Kota Medang yang menangguk angka  kemenangan 71,74 % suara, setara dengan 19,28 persen total hak pilih di Kota Medan. Betapa kecilnya presentase pemilih yang memilih walikota terpilih, yang berarti lebih dari 80 persen pemilih di medan tak memilih walikota masa bakti 2015-2020 ini, sebuah legitimasi yang sangat lemah.

Lalu apa yang salah dan siapa yang harus bertanggungjawab dengan kondisi yang sangat memprihatinkan ini? Banyak analisa dan sinyalemen yang telah disampaikan soal rendahnya partisipasi pemilih di Kota Medan ini, tetapi beberapa yang sangat mendasar perlu kita pertajam, yang berangkat dari keseluruhan sistem dan proses yang sebenarnya secara umum terjadi di hampir semua daerah yang melaksanakan Pilkada serentak 2015.

Kita melihat hal ini sebagai sebuah keseluruhan sistem dan proses, karena sebenarnya sudah dapat kita lihat dari awal pembentukan legal frame work Pilkada serentak yang sangat elitis, yang hanya dimainkan oleh segelintir elite parpol dan pemerintah, dengan mememinggirkan peranserta masyarakat sipil dalam pembahasan dan pergulatan ide dan gagasan tentang pilkada. Nuansa konfrontatif antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) serta Partai Demokrat telah dengan semena-mena menggusur rakyat dari pembicaraan politik soal pilkada ini.

Di sisi lain keberadaan KPU dan penyelenggara pemilu lainnya sebagai lembaga yang telah mengalami “kemapanan”, sehingga menjadi penyelenggara pemilu tanpa kehadiran pelembagaan pemilu, yakni terbangunnya sistem dan mekanisme serta kultur pemilu yang merupakan bagian dari proses demokratisasi, yang telah digulirkan sejak reformasi 1998. Penyelenggara pemilu asik dengan dirinya sendiri menentukan aturan teknis, anggaran dan tahapan-tahapan pilkada tanpa kehadiran masyarakat sipil yang cukup signifikan, kalaupun ada tak lebih dari ornamen yang sangat artifisial.

Penajaman soal ketidak hadiran masyarakat sipil yang sangat dengan mudah kita lihat mulai dari perangkat perundang-udangan dan peraturan KPU, yang lebih menekankan kepada kewajiban pemantau misalnya tanpa fasitasi dan dukungan yang cukup dari pemerintah dan penyelenggara pemilu, telah berhasil meminggirkan peranserta masyarakat sipil dari pemilu ke pemilu dan fenomena Kota Medan adalah gambaran nyata dan puncak dari kondisi tersebut.

Tentu banyak faktor lain yang bisa kita bahas, seperti kekecewaan publik terhadap penyelenggara negara yang dihasilkan dari pemilu dan pilkada di pusat dan daerah, lemahnya sosialisasi oleh penyelenggara pemilu, lemahnya pemahaman dan penegakkan hukum terhadap pelanggaran dan money politic, tetapi semua itu tak lepas dari rendahnya partisipasi masyarakat sispil dalam penyelenggaraan negara khususnya dalam pemilu, dan puncaknya dalam Pilkada serentak ini, berupa angka partisipasi publik yang mencapai titik nadir terendah sejak Pemilu demorasi 1999.

Mengembalikan peransserta masyarakat dalam penyelenggaraan negara dan demokrasi menjadi titik kunci, untuk mengembalikan kepercayaan publik. Khusus untuk Pemilu dan Pilkada, kehadiran masyaraat sipil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, serta tahapan pemilu dan pilkada, menjadi mendesak, mengingat selama ini, upaya peminggiran masyarakat sipil sudah mencapai titik yang sanat mengkhawatirkan sehingga mengancam demokrasi dan keberadaan Indonesia sebagai sebuah bangsa, jika hal ini tak pernah diperbaiki.

Be the first to comment on "Anomali Demokrasi dalam Pilkada di Medan"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*