Demokratisasi di Myanmar dan Masalah Rohingnya.

Spread the love

Kaka Suminta

International Observer Pemilu Myanmar 2015

Bagaimana kita memiliki pandangan yang utuh tentang kasus Rohingnya untuk bersikap yang menjadikan Indonesia sebagai solusi bagi Rohingnya yang tidak dapat dipisahkan dari masalah Myanmar secara keseluruhan, sebuah masalah yang bahkan merupakan maslah bersama bangsa-bangsa di Asia Tenggara dan Asia Selatan pada umumnya. Seyogyanya keluarga besar masyarakat di Selatan dan tenggara Asia bisa melakukan dialog, karena berbicara Rohingnya di Myanmar kita tak bisa melepaskan posisi Bangladesh, sebagai salah satu anggota negara di Asia Selatan. Sementaraitu kita juga memahami maslah ini justru mencuat di masa transisi demokrasi di Myanmar dengan pelaksanaan Pemilu Demokratis Pertama tahun 2015 lalu.

Adalah tidak elok jika berbagai kelompok di dalam negeri memanfaatkan isu Rohingnya untuk kepentingan politik di luar kepentingan mayarakat Rohingnya yang di penguasa Myanmar sendiri disebut Bengali yang diam di Rakhain State, bagian selatan barat Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. Keutuhan dalam melihat permasalahan akan menjadi titik pijak yang utuh, tentang keberadaan dan iosu Rohingnya, yang dlam pemberitaan dan wacana aljir-akhir ini menyiratkan adanya kekerasan dan maslah kemanusiaan di bagian paling miskin di Myanmar itu.

Ada beberapa dimensi yang perlu kita urai dan cari pemecahannya dari isu Rohingnya di Myanmar, pertama soal dimensi kekuasaan. Dalam perkembangnya, Myanmar yang melakukan Pemilu demokratsi di bawah pemerintahan jungta militer, dan dimenangkan oleh partainya Aung San Syu Kii pada tahun 2015 lalu, masih menyisakan permasalahan soal perimbangan kekuasaan, terutama masih dominannya peran militer dalam kekuasaan Myanmar. Kedua soal konstelasi kekuasaan pusat dan daerah, yang juga menyangkut kelompok masyarakat, etnisitas dan agama yang justru menjadi permasalahan sentral, yang seharusnya ikut dicari penyeleseainnya dalam transisi demokrasi di Myanmar. Ketiga adalah soal konstelasi regional dan global Myanmar yang berdekatan dengan Cina serta negara-negara lainnya yang memengaruhi perkembangan sosial, politik dan ekonomi di sana.

Pertama, Dimensi Kekuasaan

Kita bahas dari ketiga dimensi tersebut, dan dimensi kekuasaan menjadi sangat penting dalam pembahasan ini, karena dalam pemerintahan Jungta militer Pasca kudeta militer tahun 1988, kita hampir tak mendengar soal Rohingnya di Myanmar, selain masalah kekerasan politik yang dilakukan oleh Jungta militer terhadap oposisi, yang dlama hal ini dipimpin oleh Aung San Syu Kii, atau lebih dikenal sebagai Daw Aung. Bahkan penganugerahan hadiah nobel kepada pemimpin opisis Myanmar jauh lebih dominan dari pada isu Rohingnya yang hampir tak terdengar saat itu. Padahal dalam pemerintahan militer, kita tahu ada banyak pertikaian antara pemerintah pusat di Yanggon dengan beberapa etnis di beberapa negara bagian, seprti di San State, Chin State dan Kachin State, sekadar menyebutkan bebrapa di antara sengketa yang melibatkan pertempuran bersenjata sepanjang kekuasaan militer Myanmar.

Karena dimensi sengketa dan besarnya kelompok pemberontak bersenjata yang terlibat, bahkan diyakini, sampai saat ini masih ada puluhan ribu kleompok bersenjata yang masih enggen untuk bergabung dengan pemerintahan hasil Pemilu saat ini di negara bagian Shan dan Kachin misalnya. Tentu saja ketegangan politik yang dalam beberapa insiden melibatkan bentrokan bersenjata ini menimbulkan berbagai dampak sosial ekonomi yang cukup signifikan, dalam bentuk tidak hadirnya semua potensi ekonomi masyarakat, akibat penguasaan militer terhadap aset dan akses ekonomi, sementara itu puluhan bahkan ratusan ribu masyarakat yang meninggalkan kampung halamannya karena pertikaian tadi, saat ini menempati kamp-kamp pengungsi di lokasi IDP (Internal Displacement People) di beberapa kota dan daerah yang diaggap aman yang dikuasai militer maupun pemberontak.

Dalam konstelasi dimensi kekuasaan ini, Rohinnya merupakan bagian dari pertikaian yang juga terjadi seperti di beberapa negara bagian tadi, di Rakhain State. Keberadaan Masyarakat Rohingnya di Rakhain State ini diperparah dengan status kewarganegaan sebagian masyarakat Rohingnya yang tidak diakui oleh Penguasa Myanmar, sehingga dalam Pemilu 2015 lalu pun mereka tak meiliki hak suara sebagai warga negara. Isu kewarga negaraan dan etnisitas, sebagai sebuah isu primordialisme semakin mudah terbakar, ketika digabungkan dengan isu agama. Karena walaupun secara umum, masyarakat Budha di Myanmar tidak memiliki sentimen negatif terhadap perbedaan agama ini, namun, seperti juga dilakukan terhadap pemberontak di Kachin State yang beragama Kristen, isu agama ini juga digunakan bahkan jauh lebih efektif dalam kasus Rohingnya.

Kedua Dimensi Hubungan Pusat dan Daerah.

Suku Burnma atau Bama, merupakan mayoritas dalam komposisi populasi di Myanmar, sehingga keputusan untuk mengganti nama Negara Burma manjadi Myanmar oleh junta militer diharapkan akan mengurangi sentimen kesukuan di antara suku-suku bangsa yang berbeda di Myanmar. Di sisnilah pokok permasalah hubungan politk antara pemerintahan pusat dan daerah bermula, sehinga sepanjang pemerintahan junkta militer, bahkan berakar pada perjalanan sejaran Myanmar sendiri, rasa tak puas itu muncul sejak lama, misalnya sebagian besar penduduk dan pemimpin di Kachin State, menganggap bahwa Kachin pada awalnya adalah merupakan negara merdeka yang bergabung dengan Myanmar di awal kemerdekaan mereka, sehingga  perrlakukan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil terhadap daerah menimbulkan perlawanan dalam separuh sejarah Myanmar Merdeka.

Walau tak seperti pandangan politik di  Kachin State, Shan State dan Chin State yang mayoritas beragana Budha sekalipun, melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat karena merasakan ketidakadilan pemerintah pusat kepada daerah tersebut, sehingga di beberapa negara bagian ini lahir pemberontak bersenjata yang menuntut persamaan dan pengakuan hak-hak daerah dan rakyatnya. Kondisi di Rakhain khsusnya bagi masyarakat Rohinggnya menjadi lebih kompleks ketika hak sipsi dan hak politik tidak diakui oleh negara kepada sebagain dari mereka.  Dari sisnilah kemudian, di saat Myanmar sedang berupaya untuk melakukan demokratisasi menjadi muncul ke prmukaan, jauh lebih masif dibanding  isu kemanusiaan di nagar bagian lain.

Ketiga Dimendi Regional dan Global.

Sebagai negara yang berbatasan dengan berbagai negara, baik besar maupun kecil, sekaligus sebagai negara anggota ASEAN yang berbatasan dengan wilaya Asia Selatan, maka Myanmar memiliki hubungan bilateral dan multirateral yang beraneka macam, mulai dari kerja sama ASEAN yang semakin terbangu, sengan keterbukaan ekonimi, menjadikan beberapa negara ASEAN mencoba kerjasama ekonomi lebih erat di sana, teramsuik Malaysia, Singapura, dan dalam jumlah kecil juga Indonesia. Misalnya kehadiran rumah sakit ternama di Indonesia di kota Yangoin membuktikan hal itu, sementara Singapura masuk dengan industri jasa dan perbankan, disisi lain Mlaysia eksis dengan hotek dan restorannya di sana. Namun yang paling masif adalah Cina yang masuk hampir si deluruh negara bagian sampai pelosok, dengan investasi infrastruktur jalan dan prasarana lainnya.

Konstelasi sosial, pilitik dan ekonomi global ini terjadi seiring dengan keterbukaan yang terus dilakukan oleh penguasa Myanmar, yang sekarang merupakan gabungan antara NLD (National Liguae for Democracy) pimpinan Aung Sang Syu Kii yang memenangkan Pemilu 2015 lalu, dan kekuatan militer yang masih kuat karena memiliki kuota di parlemen yang cukup signifikan dalam sistem pemilu lalu. Di samping itu kekuasaan real militer di tanah dan aset negara yang sampai saat ini masihmereka pegang erat, sehingga dibutuhkan transisi yang lebih progresif untuk menghadirkan kekuasaan sipil yang lebih kuat, dan mengembalikan militer keluar dari kancah politik. Tentu hal ini tak semuadah seperti membalikkan te;apak tangan.

Konklusi

Uraian tentang tiga dimensi yang berada dan memenagruhi konstelasi poolitik dan kekuasaan di Myanmar ini bisa menjadi bahan yang cukup utuh untuk melihak isu Rohingnya di Myanmar, yang upaya untuk menyelesaikan masalahnya haris dilakukan dengan dialog dan upaya diplomatik, Dialog diinternal Myanmar sendiri, upaya diplomatik yang dilakukan oleh dunia interansional, serta setidaknya di antara dua region di Asia yakni Asia Selatan dan saia tenggara. Indonesia telah mengambil peran aktif dalam hal ini, harsu diniali sebagai langkah tepat, karena memiliki dua kelabihan skaligus dibandungkan negara lain, yakni sebagai sesama anggota ASEAn, sekaligua dapat menjembatani sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim.

Kita perlu mednorong agar terjadi dialog internal di Myanmar, mualai dari internal kekuaaan, bagaimana Aung San Syu Kii bersama militer melakukan transisi demokrasi untuk memberikan hak sipil dan hak politik serta hak-hak lain kepada sepuruh wraga denagar dan hak daerah yang seimbang dengan pemerintahan pusat. Kedua bagaimana mengajak dialog dengan kelompok-kelompok masyarakat dan juga negara-nagara bagian untuk menemukan pola hubungan yang saling menghormati dan saling menguntungkan, sekaligus hal ini untuk membahas masalah Rohingnya yang berdiam di rakhain State, dan mengomunikasikannya dengan Bangladesh sebagai negara tetangga yang juga memiliki kaitan dengan masalah Rohingnya.

Sebuah program prioritan perlu dilakukan tentunya, yakni melakukan moratorium kekerasan dan menghentikan sumber kekerasan terhadap masyarakat Rohingnya juga kelompok masyarakat lain oleh kekusaan militer atau kekuasaan manapu, sekaligus memberikan ruang identifikasi masalah dan dialog di sana. Semua upaya ini juga perlu dibarengi dengan sebuah grand design untuk penguatan dan perluasan demokrasi dan penghormatan terhadap hak dasar setiap warga negara di Malaysia. Tentu ini merupakan sebuah klerhja besar, yang perlu kita dukung sebagai sesama negara AsEAN juga sesama Muslin yang saay ini memerlukan dukungan di Rakhain, Myanmar

 

Be the first to comment on "Demokratisasi di Myanmar dan Masalah Rohingnya."

Leave a comment

Your email address will not be published.


*