AESF dan Posisi Indonesia dalam Peta Demokrasi Dunia

Sekjen KIPP Indonesis bersama Damaso Magbual (ANFREL) di AESF3 di Bali
Spread the love

Laporan dari bali oleh : Kaka Suminta

Penyelenggaraan Asia Election Stakeholder Forum (AESF) ketiga atau forum pemangku kepentingan Pemilu Asia, yang dilaksanakan di Bali Indonesia 24-26 Agustus lalu, tak ayal lagi menempatkan Indonesia sebagai salah satu emerging country dalam hal demokrasi, bukan hanya di Asia, tetapi juga dunia, yang oleh Chairman Asia Network for Free Election Damaso Magbual dalam pidato pembukaaanya sebagai candelite Democracy yang menyala di Asia bahkan Dunia.

Pernyataan yang jujur, tetapi bisa membuat kita tersanjung, seyogyanya tak membuat Indonesia merasa bangga berlebihan, karena pernyataan tersebut juga memiliki konsekwensi yang cukup berat bila melihat kondisi di dalam negeri maupun di manca negara, satu kata yang bisa menggambarkan kondisi tersebuit adalah bahwa dunia sedang berubah, kita juga berubah, juga soal demokrasi yang merupakan bagian dari pemenuhan hak-hak dasar manusia, yakni hak untuk berbicara, hak menyampaikan ekspresi dan untuk terlibat dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan publik, melalui pemilu yang bebas, jujur dan adil.

Disepakatinya delapan elemen penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil melalui delapan elemen penyelenggaraan pemilu yang transparan dan berintegritas, yang disebut sebagai “Bali Commitment”, merupakan bagian dari rangkaian dua AESF sebelumnya yang diselenggarakan di Bangkok, Thailan untuk yang pertama, yang menghasilkan Bangkok Declaration, dan yang kedua di Dili Timor Leste yang melahirkan “Dili Indicators”, dalam dua pertemuan tersebut, nama mantan Ketua KPU RI, Husni Manik Kamil (Alm) menjadi buah bibir, di Dili jhampir setiap orang mengenal dan mengagumi Husni karena saat sidang pleno Pilpres tahun 2014, hampir semua orang menonton persidangan melalui siaran langsung televisi di Timor Leste, dan dalam AESF 3 di bali, setiap peserta maklum, perhelatan ini terselenggara karena dukunagn kuat Husni dan jajaran KPU RI.

Kini Indonesia memiliki obligasi untuk sebagai negara yang menyandang candelite of democracy di Asia, di tengah permasalahan internal yang belum lepas dari soal radikalisme, inklusifitas, kesenjangan ekonomi dan ketimpangan pembangunan antar daerah yang sangat dirasakan oleh lapisan masyarakat paling bawah dan mereka yang berada di wilayah yeng belum terbangun sarana dan prasarana dasar secara memadai. Sementara itu di kancah internasional, kita menyaksikan tertutupnya demokrasi di Thailan pasca kudeta militer terhadap pemerintahan sipil, tantangan untuk rakyat Malaysia dan Singapura untuk mendapatkan hak sipil dan politik mereka, soal kekerasan politik di Kamboja, serta demokrasi di dunia yang mengalami ancaman dalam berbagai bentuk, bahkan untuk Eropa dan Amerika Serikat sekalipun.

Tantangan itu dalam road map Indonesia, sebenarnya cukup jelas jika melihat perkembangan dan komitmen yang disepakati di awal reformasi, untuk membangun Indonesia yang modern, demokratis dan menjungjung tinggi hak asasi manusia, namun dalam perjalanannya kita mendapatkan Indonesia berhadapan dengan begitu banyak kendala, selain yang disebutkan terdahulu, juga soal belum terlembaganya penyelenggaraan pemilu yang demokratis, pelembagaan menyiratkan pemilu dan demokrasi sebagai pemahaman, sikap dan perilaku semua pihak, dalam penyelenggaraan negara dan kehiduapan bersama.

Salah satu kendala adalah hadirnya partai-partai politik yang masih mengedepankan kemenangan dalam pemilu sebagai tujuan akhir partai untuk dapat mengendalikan kekuasaan dan ekonomi serta politik negara, sehingga funsi parati sebagai sarana untuk pendidikan politik, mengorganisir kepentingan politik publik dan penguatan demokrasi masih jauh panggang dari asap, sementara itu energi masyarakat untuk terus menggelorakan mimpi bersama Indonesia yang modern inklusif dan demokratis juga mengalami keletihan menghadapi apa yang sering disebut oligarki politik dan ekonomi yang meminggirkan kepentingan rakyat, terutama mereka yang termarginalisasi, teramsuk kaum minoritas, perempuan dan kelompok berkebutuhan khusus.

Menghadapi tantangan sebagaimana tersebut di atas, tentunya memerlukan penyegaran atau energi ekstra bagi siapapaun yang peduli dengan masa depan Indonesia khsusunya dalam hal pengembangan demokrasi dan pemenuhan hak-hak dasar manusia. Dalam hal inilah AESF 3 di Bali sekiranya dapat menjadi salah satu momentum bagi upaya tersebut.

Setidaknya bagi lembaga penyelenggara pemilu dan pemerintah, karena tiga lembaga penyelenggara pemilu terwakili di sana, yakni KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), serta kehadiran Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi yang menutup kegiatan Internasional tersebut. Demikian juga tak kurang dari belasan lembaga masyakat sipil yang berkaitan dengan pemilu dan demokrasi hadir terlibat dalam acara tersebut, sebuah obligasi yang perlu dijawab dalam kiprah masing-masing lembaga dan individu, untuk Indonesia yang modern, demokratis dan menghormati hak-hak dasar manusia.

Be the first to comment on "AESF dan Posisi Indonesia dalam Peta Demokrasi Dunia"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*