Laporan dari Brusel : Second Citizen Observer Forum
Pembangunan prasarana yang nampak lambat dan mangkrak tepat di jalan raya depan hotel tempat saya menginap di jantung kota Brussel, yang menyatakan dirinya sebagai The Heart of Europe, karena memang kota ini menjadi ibu kota pemerintahan Uni Eropa, sebuah mimpi yang dibangun tentang Eropa yang bersatu maju dan makmur.
Di balik semua mimpi itu, saya malah disuguhi pemandangan yang tak seperti bayangan saya lima atau sepuluh tahun lalu tentang Eropa, sekarang dengan mudah kita menemui orang “keleleran” di emper toko yang menjajakan barang mode ternama”Zara”, sambil memegang kaleng bir di tangan menyodorkan tangan meminta sesuatu dari semua yang lewat, itu bukan hanya monopoli kulit putih, juga kelompok bangsa lain, seperti yang berpenampilan wajah dan perawakan orang timur tengah lengkap dengan jubahnya juga menjadi peminta-minta di sana. Satu hal kesan saya, Eropa memang sedang berubah, lengkap dengan pemandangan orang merokok sembarangan dan puntung juga sampah berceceran di emperan toko.
Pidato pembukaan dalam acara Second Citizen Observer Forum yang digagas Europe Commision, juga menggambarkan kegamangan, melengkapi penyelenggaraan pertemuan, yang seolah hanya mengugurkan kewajiban, hanya karena budaya disiplin dan profesional mereka, acara bisa berjalan dengan cukup lancar, tetapi jika dianggap sebagai bagian untuk memancarkan semangat Eropa melalui promosi dan penguatan demokrasi dan pemilu, maka acara ini jauh dari memuaskan, ya intinya Eropa sedang berubah, juga dunia.
Semua tidak lepas dari serangkaian kejadian yang memengaruhi Eropa dan dunia, Serangkaian pengeboman dan penyerangan di berbagai bagian di Eropa, bahkan juga di Bandara Internasioanal Brussel sendiri, selain Perancis dan jerman. Soal pengungsi dari Timur Tengah di tengah pertikaian bersenjata di negara teluk dengan kehadiran ISIS di Irak dan Suriah yang berdekatan dengan Turki, yang saat ini mengalami kekerasan politik pasca kudeta misterius yang katanya dilancarkan militer kepada pemerintahan Edogran, soal ancaman Rusia dan ekspansi ekonomi Cina, melengkapi kepanikan Eropa, yang diwarnai plebisit Brexit.
Apa yang kita dapat dari semua itu adalah sebuah pesan yang sangat kuat bahwa tak ada satu pun negara di dunia, bahkan untuk Uni Eropa dan Amerika sekalipun yang bisa berdiri sendiri, semua inter dependen, saling ketergantungan, semua perlu bekerja sama, juga itu yang dibahas dalam forum pemantau pemilu warga yang berlangsung selama dua hari penuh, yang dihadiri oleh lebih dari 200 peserta dari 60 negara dari lima benua, ya semua saling tergantung dan dipaksa untuk bekerja sama, mengatasi tantangan dan dunia yang terus berubah.
Sesi pleno mengawali diskusi dengan pembahasan tentang perlunya sitiap orang dan kelompok yang peduli dengan masa depan dunia berkumpul, berdiskusi dan bekerja sama dalam sebuah rencana kerja yang terukur dalam kerangka pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan pemilu demokratis adalah salah satu alat untuk mewujudkan itu, agar suara setiap orang didengar, dan pilihan setiap warga menentukan langkah bersama, dalam kerja sama, saling menghormati dalam kesadaran kesamaan semua umat manusia di dunia.
Sesi workshop dibagi dalam 20 kelas dengan tema dan topik yang berbeda, tetapi saling berkaitan tentang bagaimana penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil dan damai di semua negara dapat dilaksanakan, dengan menyadari berbegai kondisi hambatan dan peluang yang dihadapi oleh setiap negara dan pelaku terkait pemilu dan demokrasi, semua menginsafi bahwa demokrasi bukan tujuan, tetapi merupakan proses yang tak terpisahkan dari upaya pemenuhan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. 20 sesi workshop membahas berbagai topik mulai dari lembaga penyelenggara pemilu sampai electronic voting and counting, mulai dari hak kelompok minoritas sampai politik uang, semua dilaporkan dalam sesi pleno setiap akhir sesi workshop.
Di tengah segala keterbatasan, termasuk minimnya personalia panitia, bahkan mereka tak dapat lagi anda temui saat anda meninggalkan hotel menuju bandara udara, janji mereka untuk mengirim saya email tentang bagaimana saya bisa mencapai bandara di akhier kunjungan saya ke Eropa, tak pernah saya terima, dari email yang saya baca dari kawan asal Pilipina, bahkan nama saya tak ada dalam daftar jadwal penjemputan kendaraan dari hotel ke bandara. Ini merupakan bagian yang berubah di sana, melupakan hal sepele yang bisa fatal bagi orang yang mengalaminya.
Dengan inisiatif sendiri saya mencari informasi soal mobil jemputan ke Bandara Internasional Brusel, dengan signal internet yang sering menghilang di kamar hotel, tentu hal itu menjadi perjuangan tersendiri. Di luar saya menemukan sang sopir yang membawa gadget tab denganlayar `10 inci dan nama saya tertera di sana, Khalal sang sopir berdarah Tunisia kelahiran Brussels, dengan ramah meminta maaf karena ia harus mencari dulu peserta lain dengan nama depan Ali, sejak setengah jam sebelumnya dan meminta saya menunggu. Khalal menyerah tak menemukan Ali, sehingga saya sendirian yang ia antar ke Bandara. meninggalkan hotel yang milik pemerintahan Uni Eropa, dengan kesan kuat bahwa Eropa sedang berubah, tanpa mengurangi pengakuan bahwa coklat dan bir di Brusel memang masih yang terbaik, saya ucapkan “bonjour et merci” kepada khalal, dan ia balas “Syukron” karena ia tahu sya datang dari Indonesia.
Be the first to comment on "Dunia yang Sedang Berubah"