KIPP, PEMILU, DAN MASSA MENGAMBANG

Spread the love

Pengantar: Tulisan ini merupakan tulisan Dra. Sri Yanuarti, pada saat masih berdirinya Orba, tentang KIPP dan Pemilu saat itu. Sekaligus menjawab keraguan soal tanggal 15 Maret 1996 sebagai hari berdirinya KIPP, (saat itu tanpa “Indonesia”)

Sumber : www.library.ohio.edu -IN/POL

 

KIPP akhirnya diumumkan berdiri secara resmi meskipun jauh-jauh hari terjadi pro dan kontra. Keragaman latar belakang personel yang tergabung dalam kepengurusan, menunjukkan kuatnya keinginan masyarakat mengembalikan pemilu sebagai mekanisme konstitusional untuk perubahan  dan pergantian kepemimpinan politik secara wajar dan demokratis, bukan sekadar ritual kenegaraan lima tahun sekali.

Perangkat kepolitikan Orde Baru yang digunakan selama ini nyaris tidak  memungkinkan adaptasi sistem politik dengan perubahan aspiratif  masyarakat.
Kerinduan akan pemilu yang jujur dan adil, misalnya, merupakan hasrat masyarakat yang tidak pernah surut dalam sejarah Orba. Sekurang-kurangnya pada Sidang Umum MPR 1988 dan 1992, gagasan memasukkan klausul “jurdil” dalam penyelenggaraan pemilu telah diperjuangkan oleh kedua partai politik, PPP dan PDI, meskipun gagal. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan pemilu tercermin dalam struktur organisasi Lembaga Pemilihan Umum yang pimpinannya terdiri dari para menteri dan pejabat tinggi negara yang diketuai Menteri Dalam Negeri. Struktur serupa juga terlihat dalam panitia pemilihan,  baik di tingkat pusat (PPI) maupun di tingkat daerah (PPD I dan PPD II), serta struktur organisasi panitia pengawas pemilu yang di pusat (Panwaslakpus) diketuai oleh Jaksa Agung dan di daerah (Panwaslakda) yang secara ex-officio dipegang oleh aparat kejaksaan di wilayahnya masing-masing.

Besarnya pengaruh pemerintah dalam penyelenggaraan pemilu tidak akan menjadi suatu persoalan manakala aparat birokrasi terbebas dari afiliasi kepolitikan yang menguntungkan organisasi politik tertentu. Kenyataannya aparat birokrasi melalui Korpri tidak bisa dilepaska dari keberadaan Golkar. Dominasi aparat birokrasi sebagai penyelenggara pemilu, mengakibatkan Golkar memperoleh posisi yang  lebih menguntungkan daripada kedua parpol lain.

Keterkaitan ABRI dengan Golkar, sekalipun sepanjang sejarah kepolitikan Orde Baru mengalami pasang-surut, memberikan beban sejarah
ABRI sebagai penyangga Golkar. Meskipun tidak secara langsung
melibatkan diri dalam kepengurusan harian Golkar, namun mengingat
posisi mereka sebagai penasihat Golkar, netralitas ABRI sebagai alat
negara sulit berjalan sepenuhnya. Akibatnya dalam pengamanan pemilu,
kecenderungan keterpihakan terhadap satu organisasi politik tertentu
tidak dapat dihindarkan.

Struktur penyelenggaraan pemilu seperti itu mengakibatkan terciptanya
pemusatan sumber-sumber kekuasaan pada kekuatan politik yang didukung
oleh birokrasi di satu pihak dan menempatkan parpol pada posisi
marginal di lain pihak. Situasi ini mengakibatkan aktualisasi dari
prinsip keterwakilan sebagai salah satu tujuan diselenggarakannya
pemilihan umum menjadi nisbi.

***

KETIDAKPUASAN masyarakat terhadap lembaga pengawas pemilu yang telah
ada selama ini karena panwaslak berada dalam subordinasi pemerintah
sebagai penyelenggara pemilu. Operasionalisasi kerja panwaslak selama
ini juga lebih bersifat reaktif, menunggu pengaduan yang dilaporkan
oleh partai secara administratif daripada langsung melakukan
pemantauan di tempat pemungutan suara (TPS). Kalaupun ada pemantauan
biasanya hanya merupakan kunjungan kerja yang bersifat ritual.

Kondisi tersebut diperparah dengan tidak diikutsertakannya organisasi
politik dalam panitia pendaftaran pemilih (pantarlih). Unsur Golkar
tidak perlu khawatir dengan absennya mereka dalam pantarlih karena
personalia pantarlih merupakan aparat birokrasi yang sekaligus
merupakan kader Golkar. Pelanggaran yang menjadi keluhan dari parpol
dalam masalah ini adalah tidak didaftarkannya calon pemilih karena
menjadi simpatisan parpol dan manipulasi kartu model AB, kartu yang
memungkinkan pemilih menyerahkan suaranya tanpa terikat pada TPS
tertentu.

Kesukaran menghimpun informasi dan penolakan saksi-saksi di TPS selama
ini menjadi hambatan utama parpol untuk mengontrol pelaksanaan pemilu.
Padahal pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu paling banyak
terjadi di tingkat TPS, seperti kecurangan penghitungan suara,
intimidasi terhadap saksi, dan intimidasi pada calon pemilih dalam
penyerahan suara (Alexander Irwan, 1995).

***

KEBIJAKAN massa mengambang yang diatur dalam UU No 3/1985 tentang
Partai Politik dan Organisasi Massa di mana struktur organisasi partai
politik dibatasi sampai tingkat ibu kota kabupaten, ikut memperlemah
kontrol partai dan masyarakat terhadap pelanggaran pemilu. Studi yang
dilakukan LIPI selama tiga tahun terakhir membuktikan asumsi bahwa
penerapan kebijakan massa mengambang di pedesaan telah melahirkan
depolitisasi dan mobilisasi massa pedesaan. Ketiadaan organisasi
politik di tingkat desa, menjadikan pemerintah desa sebagai
satu-satunya kekuatan politik di desa. Diperkuat dengan posisi aparat
pemerintahan desa sebagai kader Golkar di desa, sedikit banyak
mempersulit gerakan parpol untuk melakukan kegiatan politik di desa.

Depolitisasi massa pedesaan sebagai implikasi dari kebijakan massa
mengambang menghasilkan alergi politik masyarakat desa. Sikap ini
diperlihatkan dengan ketakutan warga desa mengungkapkan afiliasi
kepolitikan mereka di luar Golkar, serta penolakan mereka untuk
menjadi aktivis partai di luar Golkar. Dalam pelaksanaan pemilu,
alergi politik akan semakin menguat apabila terjadi intimidasi yang
dilakukan aparat untuk memenangkan golongan tertentu (Penelitian
“Implikasi Kebijakan Massa Mengambang”, PPW LIPI, 1994, 1995, 1996).

Kuatnya pengaruh birokrasi di tingkat desa, tanpa diimbangi oleh
kekuatan partai, mengakibatkan pemilu menjadi sarana mobilisasi untuk
memenangkan kekuatan politik tertentu. Keberadaan lembaga pengawas
pemilu independen, sejauh ia bisa memantau pelaksanaan penyerahan
suara di TPS-TPS, akan mempersempit kesempatan kecurangan dalam
pelaksanaan pemilu akibat ketimpangan struktur politik di tingkat
desa.

***

DIBENTUKNYA KIPP merupakan satu awal agar pemilu benar-benar
diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang dikehendaki oleh
massa pemilih, bukan sekadar legitimasi dari kekuasaan yang tidak
berubah.

Pengawasan pemilu hanya akan efektif apabila aparat pengawas
independen pemilu dapat memonitor langsung pelaksanaan penyerahan
suara di TPS, meski itu bukan satu-satunya pekerjaan yang harus
dilakukan. Luasnya wilayah pemilihan yang mesti dijangkau, merupakan
persoalan besar yang mesti dihadapi KIPP. Di lain pihak keinginan
mendirikan lembaga pengawas pemilu versi masyarakat barulah fenomena
kelompok terdidik di perkotaan yang merindukan pembaruan politik.
Sedangkan pelanggaran-pelanggaran banyak terjadi di desa-desa yang
masyarakatnya justru apolitik. Keadaan ini akan menyulitkan KIPP
menghimpun sukarelawan-sukarelawan untuk memantau pelaksanaan
penyerahan suara dalam pemilu sampai di desa-desa.

Kompleksitas persoalan yang mesti diselesaikan KIPP, meninggalkan
pertanyaan besar apakah lembaga ini bisa melaksanakan pengawasan
pemilu secara efektif seperti yang telah dilakukan oleh Pollwatch di
Thailand dan Namfrel di Filipina. Karena itu pemerintah tidak perlu
buru-buru mencurigai atau bahkan melarang kehadiran KIPP. Keberadaan
KIPP selayaknya diterima sebagai keikutsertaan masyarakat ikut
meningkatkan kualitas pemilu.

* Sri Yanuarti, staf peneliti Puslitbang Politik dan Kewilayahan –
LIPI.
________

Be the first to comment on "KIPP, PEMILU, DAN MASSA MENGAMBANG"

Leave a comment

Your email address will not be published.


*