Oleh : Kaka Suminta
Perayaan hari raya Idul Fitri 1, Sawal 1439 H. Bertepatan dengan tanggal 15 Juni 2018 di tahun masehi. Sebuah perayaan penting untuk umat Islam di seluruh dunia. Indonesia sebagai sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu merayakannya cukup meriah di seantero negeri. Bahkan budaya mudik, yakni pergerakan pendudukan dari daerah urban ke daerah pedesaan menjadi pertanda hadirnya perayaan Iduk Fitri yang terjadi antara sepekan sebelum Idul Fitri. Sebuah prosesi yang sangat khas Indonesia. Di tengah itu semua, pada saat yang bersamaan, Indonesia juga sedang menghadapi perhelatan akbar lainnya di bidang politik, yakni pilkada serentak di 171 daerah provinsi dan kabupaten/kota.
Seyogyanya antara perhelatan politik pilkada dan perayaan keagamaan Idul Fitri bisa beriringan sejalan, Misalnya momentum kembalinya penduduk dari perkotaan ke kampung halamannya bisa menjadi ajang yang juga digunakan untuk melakukan pencoblosan pada saat pemungutan suara yang dilaksanakan secara serentak pada yanggal 27 Juni mendatang, yang sebelumnya bisa saja dilakukan sosialisi soal pemungutan suara oleh penyelenggara pemilu atau penyampaian informsi dari para kandidat dan tim kampanyenya. Namun sayangnya hal ini tak bisa dianggap berjalan dengan maksimal, pertama, karena para pemudik diperkirakan akan kembali ke kota paling lambat sepekan setelah Idul Fitri atau tanggal 22 Juni 2018, sementara pemungutan suara dilaksanakan 5 hari setelah itu.
Kedua, kemungkinan para pemudik akan lebih memilih untuk mengurus soal urusan pribadi dan keluarga, seperti soal pengurusan surat-surat identitas diri dan surat lainnya, di samping menggunakan waktu yang ada untuk bersilaturahmi dengan kawan dan saudara yang ada di kampung halamannnya. Nah masalah silaturahmi ini, malah akan bisa memicu masalah baru, yakni ketika momen silaturahmi ini digunakan untuk menggalang kekuatan politik dan kampanye oleh para pasangan calon dalam pilkada. Jika pelaksanaan silaturahmi, dilakukan dengan hanya memberikan konsumsi alakadarnya mungkin hal ini masih bisa ditolelir, tetapi jika kemudian yang terjadi adalah apa yang dimaksud sebagai kategori politik uang atau kampanye di luar jadwal, maka ajang silaturami mudik tadi akan menjadi permasalahan dalam pelaksanaan pilkada.
Untuk itulah penyelenggara pilkada khususnya jajaran pengawas pilkada yakni Bawaslu di tingkat provinsi dan Panwas di tingkat Kabupaten dan kota sampai pada jajarannya di tingkat desa dan kelurahan, diharapkan tetap memasang mata dan telinga untuk mengawasi tahapan pilkada yang kebetulan di dalamnya beririsan dengan momen liburan Idul Fitri ini. Upaya untuk pencegahan tentu harus menjadi instrumen utama dalam pengawasan, dalam pencegahan banyak hal yang bisa dilakukan oleh pengawas pilkada, seperti penyampaian informasi, baik melalui lisan maupun tulisan, gambar dan audio visual yang bisa didayagunakan untuk melakukan pencegahan pelanggaraan pilkada, khususnya soal kampanye ini.
Beberapa potensi pelanggaran dalam dalam kapanye pilkada dimasa liburan mudik adalah, soal politik uang, kampanye di luar jadwal, pelaksanaan kampanye di tempat yang dilarang, seperti di tempat ibadah, penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Sedikitnya ada lima jenis potensi pelanggaran pilkada di masa kampanye yang bisa terjadi di saat masa silatuturahmi, liburan Iduk Fitri tahun ini. Setelah upaya pencegahan, maka selanjutnya ada dua jalur dalam upaya preemtif dan represi terhadappelanggaran tadi, yakni jalur temuan oleh petugas pengawas pilkada dan laporan masyarakat atas pelanggaran tadi,
Politik uang dan kampanye di luar jadwal menjadi potensi pelanggaran yang paling potensial dilakukan oleh para kandidat dan tim kampanyenya, yakni dengan memanfaatkan momentum silaturahmi untuk melakukan kegiatan yang sedemikian rupa menjadi memenuhi unsur kampanye. Misalnya saja jika dengan dalih silaturahmi di suatu tempat disampaikan tentang visi, misi dan program, atau penyampaian citra diri kandidat, sedemikian rupa sehingga unsur kampanye pun terpenuhi, sementara itu hal tersebut di lakukan di area yang sebenarnya bukan merupakan watu dan tempat sesuai dengan jadwal kampanye yang disusun oleh KPU, dengan demikian maka unsur pelanggaran kampanye di luar jadwal menjadi terpenuhi. Dalam hal ini pencegahan sebelum terjadi dan upaya penanganan kasus setlah terjadi perlu dipersiapkan oleh pengawas pilkada.
Bisa juga terjadi bahwa dalam silaturahmi tadi melakukan bagi-bagi uang atau dalam bentuk lain yang memenuhi syarat pelanggaran politik uang dari kandidat atau timnya kepada peserta silaturahmi tadi, ini sangat mungkin terjadi, karena bagi kandidat dan tim kampanyenya setiap kesempatan akan digunakan untuk melakukan berbagai upaya untuk meraih suara pemilih sebanyak mungkin. Sehingga bisa saja terjadi perbuatan pelanggaran politik uang di masa kampanye yang berbarengan atau memanfaatkan momentum liburan idul Fitri.
Pelanggaran lainnya seperti penyalahgunaan wewenang misalnya oleh kandidat petahana atau petahana yang berafiliasi politik dengan kandidat, penyalahgunaan wewenang bisa berupa penggunaan sarana prasarana milik pemerintah atau milik publik digunanakan untuk kampanye yang berbungkus silaturahmi seperti acara halal bi halal misalnya yang marak setelah perayaan Idul Fitri. Atau pelibatan pejabat yangdilarang atau ASN, dalam sebuah acara yang bisa dikategorikan sebagai kampanye. Dalam hal ini pun peran pengawas menjadi sangat penting untuk mencegah dan menindaklajuti jika ada pelanggaran seperti di atas. Potensi pelanggaran lainnya seperti dugaan kampanye di tempat ibadah kemungkinannya, mungkin saja terjadi sebagaimana pelanggaran lainnya di saat liburan Idul Fitrin ini.
Lalu bagaimana peran serta masyarakat dan pemantau pilkada dalam hal ini. Kita harus mengakui bahwa peran masyarakat sipil dan pemantrau pilkada yang independen untuk melakukan pemantauan pada setiap tahapan pilkada saat ini semakin menipis keberadaanya. Sejak pemilu tahun 1999, di mana pemantau pemilu bisa hadir di hampir semua TPS di seluruh negeri, untuk saat ini kondisinya sudah jauh dari kondisi saat itu. Baik secara kuantitas maupun kualitas, kehadiran dan kiprah pemantau pemilu independen semakin banyak berkurang. Dalam kondisi seperti itu, maka kehadiran pemantau pemilu dan peran serta masyarakat harus bisa didayagunakan secara maksimal, sebelum kita mampu mengembalikan peran masyarakat dan pemantau pemilu untuk dapat menjadi pemantau yang memberikan penguatan moral dan kredibelitas pelaksanaan pemilu dan pilkada.
Salah satunya adalah dengan kerjasaa yang saling mendukung antara pemantau dengan penyelenggara pemilu, karena dari sisi sumberdaya naik sumberdaya manusia maupun non manusia, pemantau tak memiliki sumberdaya sebagaimana yang dimiliki oleh KPU dan Bawaslu, namun dari sisi lain, kehadiran pemantau sebagai bagian dari masyarakat sipil dan penjaga moralitas pelaksanaan pilkada menjadi sangat penting. Sayangnya tak mudah mencari pola ideal kerjasama penyelenggara pemilu dan pemantau, bahkan penyelenggara pemilu lebih banyak membuat kesepahaman kerjasama dengan sesama lembaga negara, dibandingkan dengan pemantau, ini tentu menjadi ironi yang harus diluruskan baik oleh KPU maupun oleh Bawaslu, untuk dapat menghadirkan pilkada dan pemilu yang memiliki legitimasii kuat dan berintegritas.
Be the first to comment on "Mudik dan Potensi Pelanggaran Kampanye Pilkada"