
Pilkada
Satu hal yang terpikir adalah, apakah para pembuat Undnag-undang nomor 10 tahun 2016 tidak terpikir akan potensi masalah yang muncul terkait pengganti kepala daerah yang definitif akan demisioner sesuai dengan titi mangsa atau tanggal berakhirnya masa jabatan kepala daerah, yang dalam pengaturan dalam UU tersebut dinyatakan bahwa pelantikan kepala daerah dan wakil kelapa daerah terpilih dilaksanakan disessuaikan dengan masa jabatar paling akhir dari kepala daerah yang melaksanakan Pilkada, atau dengan kata lain 171 daerah dengan 17 diantaranya adalah tingkat Provinsi, pelantikan kepala daerah dan wakilnya adalah pada Bulan Desember 2019 secara serentak.
Dari satu sisi ini saja, jelas bahwa kita perlu memperhatikan bahwa akan ada kekosongan kepala daerah di wilayah dengan jumlah 70 persen dari total pemilih dalam Pemilu 2019, sebuah kondisi yang perlu kehati-hatian. Hal ini perlu dipikirkan karena penggantian kepala 171 kepala daerah dengan Plt kepala daerah atau apapaun sebutannya, di masa Pilkada dan Pemilu, dengan jumlah sebaran daerah yang sangat besar jelas rawan ketidak adilan politik.
Kerawanan itu terjadi apabila publik menilai bahwa Plt kepala daerah diberikan kepada pihak yang memiliki mkecenderungan tidak netral atau dari satu kelompok kekuatan politik yang bertarung dalam Pemilu 2019, bukan hnaya Pilkada serentak 2018. Di sisni lah pemerintah harus menghindarkan diri dari tudingan memanfaatkan keadaan, dengan mengambil keputusan yang dianggap tidak netral. Jadi soal ususlan penunjukann jendral polisi aktif sebagai calon kepala daerah di Jabar dan Sumut, bukan sekadar unsur kepolisiannya, tetapi lebih jauh yaitu soal suasana yang bisa menimbulkan kecurigaan dan bisa mengikis kepercayaan publik.
Seyogyanya diupayakan untuk menempatkan orang yang dianggap lebih netral, walaupun hal ini tidak mudah, karena jika pun yang dilakukan adalah dengan mengangkat PNS dari kemntrian Dalam negeri, tidak lantas menghilangkan kecurigaan publik tadi, namun setidaknya dengan mengangkat Sekda atau poejabat daerah yang memenuhi syarat di setiap daerah tadi, hal ini akan lebih mengurangi kecurigaan dan ketidakpercayaan publik, karena sekda dan pejabat setempat, sudaj harus memposisikan netral dalam Pilkada dan Pemilu, sehingga kontrol publik atas netralitas meraka sudah melekan sepanjang proses Pilkada dan Pemilu.
Jadi terkait isu di atas, pemerintah bisa memberikan signal positif yang kuat bahwa kebijaknnya melalui kemetrian dalam negeri cukup arif dan mampu merespon keprihatinan publik, bukan sekadar ngotot-ngototan, apalagi seolah memperlihatkan otot kuasanya, dan membiarkan polemik menggerogoti kepercayaan publik, walaupun jika kita melihat konstruksi Undang-undangnya, seharusnya hal ini sudah diperhitungkan oleh pembuatnya, yakni fraksi-fraksi di DPR juga pemerintah untuk memahami konsekwensi dari sebuah pengaturan yang berpotensi menimbulkan kerawanan.
Be the first to comment on "Plt. Kepala Daerah dari Polri dalam Pilkada 2018?"